Sahabat, hari ini–setelah beberapa hari aku tak menuliskan sebuah catatan,
maka sekarang-aku mulai menuliskan kembali pikiran yang mulai awal sudah
men-jahanami pikiranku.
Dan mulai disinilah permulaan ceritaku.
-Selasa, 29 mei 2012-,
dimana aku tak mampu menuliskan kata dengan sepenuhnya lancar, sehingga aku
menuliskan surat di Akun Facebook-ku hanya untuk menyatakan maaf kepadanya
karena ketidak istiqamahan-ku menulis sebuah karangan untuknya, walaupun dia
hanya memakai isyarat yang mungkin kebanyakan orang belum pasti tahu maksudnya,
mungkin-pun aku sangat membutuhkanmu.
Pada hari dimana aku tak menuliskan kata-kata itu kepada-mu, aku mulai
merasa keras, hingar-bingar di sekitarku mulai menimbunku kedalam got-got
sampah. Tahukah kau, disini aku bukan hanya serasa ter-bui, tapi juga tersiksa.
Bagaimana tidak, kau membayangi-ku, dan itu tidak untuk-mu terhadapku. Tak
adil, sangat tidak adil. Tapi aku mencoba untuk berspekulasi tentangmu,
sebagian pikiranku berkata itu hanya permainan-mu untuk aku selalu menuliskan
kata-kata rusak kepadamu, atau spekulasi apalah yang tak masuk dalam benakku,
yang pasti hal ini membuat aku absurd.
Mula-mula kuperhatikan
kamarku, Buku! Ke mana juga mata ditebarkan, buku juga yang nampak. Cuma rak
buku yang terbuat dari rotan biasa. Pintu yang merangkapi pintu kayu terbuat
dari triplek. Ke atas –seleret langit. Seleret internet (gubuk, Red). Seleret saja. Bisu. Aku jatuh
terduduk dilantai. Pintu ke dunia bebas telah terkunci. Terkunci hanya karena
satu kata abstrak tak tentu, “Cinta”.
Kalau engkau binatang dan
dikurung demikian untuk pertama kalinya, dan engkau selama itu bebas
berkeliaran di alam merdeka, engkau akan menumbuki pagar kurunganmu hingga
badanmu luka-luka dan engkau kecapaian hingga akhirnya terdiam putus asa. Tapi
kalau engkau manusia, bila untuk pertama kalinya dirampas kebebasanmu dan
dimasukkan kedalam kurungan, engkau akan kehilangan dirimu sendiri. Dan engkau
akan berdiam diri tak tahu apa yang harus kau perbuat. Demikianlah.
Perlahan-lahan aku bangun
dari lantai dan merangkak bertiduran di atas lantai. Banyak sekali yang aku
pikirkan. Banyak sekali, hingga aku tak tahu lagi apa yang aku pikirkan pada
waktu itu. Hanya perasaanku sebagai manusia berakal saja yang bisa membuatku
kuat oleh kurungan ini. Perasaan itu pula yang akhirnya mengendap segala
pikiranku. Dan perasaan maju ke muka menggantikan segala pikiran: perasaan yang
memoga-mogakan keruntuhan kerajaan Cinta. Kalau aku ingat betapa gilanya
kemerdekaan ini dirampas pertama kali oleh-mu, datanglah perasaan
aneh-aneh-mulai dari takut kehilanganmu, takut kau terluka, takut apalah lagi-,
dan selalu serba kekhawatiran, pikiran yang mokal-mokal, yang kadang-kadang
juga sama sekali takkan mungkin masuk di akal.
Tiga hari aku terlentang
di lantai kamar hanya karena sibuk dengan penjajahan kolonial-mu. Ah, cukup
untuk memenderitakanku berpuluh-puluh tahun lamanya. Tapi, apakah kau merasakan
seperti itu?. Bersambung!!
Malang, 31 Mei 2012