Kritik Wacana Agama; Kritis Karena Cinta

Sebelum anda beranjak dari keranda otak anda untuk bergumul dengan materi ini (Kritik Wacana Agama), alangkah baiknya anda berpikir tentang diri anda sendiri, kelamin anda, keberagaman anda, dan keberislaman anda sendiri, bukan orang lain. Apakah anda telah menjadi sejatinya manusia yang “berotak dan berhati”, manusia yang beriman kepada sejatinya Tuhan atau malah hanya beriman kepada sejarah, wacana, tafsir tentang Tuhan saja. Jika pilihan hati anda lebih menjatuhkan diri kepada beriman kepada sejarah, tafsir dan wacana tentang Tuhan, siapakah yang berani menjamin bahwa yang diyakini anda itu adalah kebenaran yang sejati?.

Sekarang bagaimana jika anda dihadapi oleh segolongan “muslim” yang mengatasnamakan agama melakukan kebiadaban (gender, misalnya), melanggar hak asasi manusia (HAM), membunuh, sakralisasi pemikiran, menganggap tafsirnya yang paling benar, bahkan men-Tuhan-kan teks, terjebak pada literalisme buta, keme-Arab[1], tertutupnya pintu ijtihad, dan lain sebagainya. Bagaimana anda mencerna, berpikir, dan berhati tentang masalah tadi, apakah masalah tadi masuk dalam ranah “AGAMA” atau “WACANA AGAMA?

Sebagian anda akan menjawab, bahwa, permasalahan diatas masuk dalam ranah agama, dengan alasan ada bau-bau agamanya, dan sebagian dari anda—yang sedikit cerdas—akan menjawab bahwa permasalahan diatas adalah wacana agama dengan alasan bahwa jawaban-jawaban atas permasalahn diatas masih terbuka untuk dikritisi bahkan disalahkan. Lagi-lagi, kita harus mengikhlaskan diri untuk berbeda pendapat dengan sesama kita.
           
Dari sekian banyak jawaban yang ada, apa yang kita perlukan untuk memilah yang baik dan tidak baik? Jawab saja, Kritik. Kritik adalah jalan setapak untuk memilih mana yang baik dari yang tidak baik, yang benar dari yang palsu. Kritik, secara etimologi (KBBI), adalah kecaman atau tanggapan, dan secara terminologi, adalah sebuah refleksi filosofis dan idelogis yang sejatinya hendak mengkaji lebih dalam tentang sesuatu. Kritik, dengan demikian, tidak selamanya berkonotasi buruk, justru kita harus membudayaan Berpikir Kritis atau Cara Baca Kritis (fashl qari’an al-maqru’). Jadi, Kritik Wacana Agama (KWA) adalah berpikir kritis tentang wacana agama dengan cara “menunda terlebih dahulu” kebenaran-kebenaran yang diwacanakan, bahkan “mencurigai”nya terlebih dahulu[2].

Perjalanan II (Sebelum Ramadlan)

Lagi, malam ini, di desa Ledokombo Kec. Ledokombo saya melancong ke sebuah acara Haflah Al-Imtihan yang dihadiri oleh para Ulama'-Ulama' NU, salah satunya Rais Syuriah NU Cab. Jember (KH. Muhyidin Abdusshomad), saya melihat bagaimana beliau berusaha memberikan pengertian tentang Agama kepada para jamaah (awam) yang hadir. Dalam ceramahnya, beliau berusaha menyederhanakan ajaran-ajaran Agama dengan sesederhana mungkin--walaupun jika dikaji ulang kajian yang dibahas adalah Tafsir al-Khazin (Lubāb al-Ta'wil fi ma'āni al-Qur'an) karya Syeikh 'Alauddin 'Ali bin Muhammad al-Khazi--dengan bab yang dibahas adalah tentang hamba yang sholeh (paripurna). Sebegitu sederhananya hingga para jama'ah audience--dengan cara mengangguk-angguk tanda paham--merasa paham dengan yang dijabarkan. Intinya, pelajaran yang malam ini yang bisa dipetik adalah, "Bahwa orang yang cerdas itu bisa menyederhanakan dan mampu menyampaikan sesuatu yang serumit apapun kepada khalayak pendengar." Wallahu 'a'lamu bi al-shawāb. :-)
_______________
Jember, 27 Mei 2013

Perjalanan I (Sebelum Ramadlan)

     Ketika saya mbolang ke sebuah desa, Saya menemukan ilmu baru tentang masyarakat desa "Sbr. Gedung, Kec. Ledokombo, Kab. Jember". Tepatnya di kaki gunung Raung. Disana, mayoritas berbahasa Madura, bahasa halus, masyarakatnya lebih mementingkan etika (akhlaq) ketimbang ilmu-pengetahuan. Saya kira, masalah itu bukan hanya terjadi di desa Sbr. Gedung saja, tapi--mungkin--seluruh desa yang ada di Jawa Timur--khususnya. Bedanya SBR. Gedung dengan yang lain adalah, ketika ada seorang "pemuda" yang etika (akhlaq)-nya kurang baik (sering melanggar adat desa), biasanya si pemuda itu langsung dinikahkan. Tak pandang umur, lulusan SD-pun jadi. Ckckckck!! :-D
Katanya sesepuh desa, Menikah itu bukan hanya untuk menegaskan status kehalalan insan manusia dalam hidup bersama, tapi juga untuk pembentukan (character building) mental dan sikap yang lebih baik. Wallahu 'a'lam bi al-shawāb. :)
_______________________

Jember, 26 - O6 - 2013

Tak Ada Yang Lebih Zuhud Darimu!

Dirgahayu NKRI-ku,
68 tahun lamanya dirimu,
Berteman dengan kain kasut
Bersahabat dengan kayu kriput.

Tertanggal 17
Bulan Agustus,
Bulan antara makhluq bernama lailatul qadr dan bulan syawal pertengahan.
Menunjukkan bahwa kau tengah,
Tidak kekanan, pun tidak kekiri,
Bukankah itu bukti ke-Bhinekaanmu pada kami, NKRI-ku?

Begitu indah suara-suara burungmu,
Sampai-sampai tak ada yang tersisa darinya untuk hidup.
Begitu seksi para wanita-wanitamu, hingga bermuara di surga bernama Dolly.
Begitu santun akhlaqmu, sampai dirimu tak merasa terlecehkan oleh adek kelasmu di SD sampai SMA, dulu.
Begitu dermawan tingkahmu, hingga dirimu tak pernah merasakan nikmatnya makanan hasil buatanmu sendiri.

Wahai NKRI-ku,
Tak ada yang lebih zuhud darimu.
Dan aku pastikan itu.

Jember, 17 Agustus 2013

Di Antara

Tuhan, aku hanya hamba-Mu
Di antara senang dan duka
Di antara pahala dan dosa
Di antara putih dan hitam
Di antara siang dan malam
Di antara ada dan tiada
Di antara aku dan dia
Di antara tubuh gersang
Di antara mata yang rabun
Di antara hati yang pengap
Di antara semua.
..
Semoga Engkau masih menganggapku hamba-Mu, Tuhanku. Amin.

Orgasme 93, 16 Juni 2013

Lagi-lagi, Satu Kata: Waktu



Kegagalan orang bermain-main dengan waktu membuatnya
 tidak hidup di masa kini. (St. Sunardi)[1]


            Selasa malam rabu, tanggal 03-06-2013, tepat pukul 23.16 malam, saya susah tidur ketika membayangkan perjalanan yang akan saya tempuh pagi harinya, karena memikirkan kecaman dosen tentang perilaku yang tak baik dikelas kemaren pagi (baca; senin pagi). Walaupun disisi lain aku tak begitu merisaukan kata-kata yang dilontarkan oleh si dosen, tapi aku malah teringat dengan “doktrin-doktrin” orang tua dirumah tentang keharusan lulus tepat waktu. Disanalah aku mulai pesimis dengan kuliahku.
            Lanjutnya, kata si dosen, “kamu ini bagaimana, Isom! Saya kira kamu itu sangat mampu dengan apa yang saya ampu sekarang (baca; mata kuliah), tapi kamu kog seperti meremehkan saya”, Aku terdiam, tak mau menanggapi walaupun mulut sudah berancang-ancang untuk memotong, tapi aku tambal mulutku dengan batu-bata. Aku masih berusaha untuk menerima segala kesalahanku dengan mulut terdiam, mencoba aku masukkan kedalam hati yang paling dalam.
            Satu jam aku mencoba menerima kultum dari sang dosen dengan berusaha mendengar dan melihat lekuk goyang lisan dosen, tapi tetap saja dalam hati ini aku merasa tak terima dengan seluruh kata-kata yang dilontarkan, karena beberapa alasan. Pertama, pengulangan kata-kata yang tak terlalu penting untuk dilontarkan kembali, bisa jadi, menurutku, itu adalah cerminan dari emosi yang tak terkontrol sehingga membuatnya sedikit kehilangan kecerdasannya, kedua, sistematika berbicara, seharusnya seorang dosen harus bisa mensistematikan retorika berbicara agar terlihat rapi dan diterima oleh indra si murid, tentunya, ketiga, aku sangat tidak setuju jika yang disalahkan hanya tertuju padaku sebagai pelaku kesalahan, bukankah harus ada sebuah sepehaman dari kedua belah pihak antara guru dan murid, mengapa si murid menjadi malas kuliah, dan lain-lain. Nah, kondisi ketika itu akulah orang paling bersalah ketika itu, tak ada kebenaran sepersen-pun dalam diriku, ketika itu.
            Tapi, tujuanku menulis ini bukan untuk mengkritisi argumen-argumen yang dikatakan dosen, tapi lebih kepada “waktu”. Waktu yang digunakan aku untuk melakukan kesalahan, bahkan perbuatan yang paling menjijikkan selama satu bulan terakhirku di Malang. Tahukah kalian, bahwa dalam pikiranku selama hampir tiga tahun bergelut dengan kuliah yang paling sangat aku takutkan adalah tidak lulus tepat waktu[2]. Sederhananya, Waktulah yang membuatku tak tenang. Empat tahun adalah waktu yang sangat sedikit untuk meraup ilmu sebanyak-banyaknya, dan doktrin mencari ilmu sebanyak-banyaknya dengan waktu yang sesingkat-singkat aku rasa sangat tidak cocok dengan kapasaitas otakku yang tak begitu encer (baca; kurang cerdas/biasa-biasa saja). Lagi-lagi, aku dipusingkan dengan satu kata, “waktu”. Ketika waktu malam, aku sendiri di kamar sendiri membaca buku sampai tak terasa pagi menjemput. Lagi-lagi aku dipusingkan dengan waktu. Dedline membacaku malah sering dibatasi dengan waktu yang begitu singkat, padahal—terkadang—aku masih belum terpuaskan dengan hasil membacaku semalam.
Waktu sebagai Kata Sifat
            Bicara tentang waktu, aku mencoba berlabuh pada seorang Filsuf kenamaan yang sedikit membahas waktu kedalam bukunya, sebut saja alm. Ust. Nietzsche yang menceritakan tentang Zarathustra yang hanya ditemani oleh waktu dalam kisah “Negeri Budaya” (“Of Land of Culture”). Pengalaman si Zarathustra dengan waktu datang ketika dia meninggalkan masa kini untuk berkelana ke masa depan. Zarathustra ternyata tidak tahan tinggal hanya bersama dengan waktu. A horror assailed me! Saya terperangkap dalam rasa ketakutan yang sangat! Demikianlah Zarathustra menggambarkan penderitaanya berhadapan dengan waktu. Tidak tahan berada di masa depan, Zarathustra lari pulang ke land of culture untuk menjumpai orang-orang yang merasa diri sebagai “orang-orang masa kini” (man of the present). Dia kembali untuk mengobati kekecewaannya terhadap masa depan. Harapan tinggal harapan, malah dia makin kecewa menyaksikan man of the present!.  Kini—di negeri budaya—dia tidak  bermasalah dengan waktu, tapi si Zarathustra merasa sedang menghadapi masalah dengan tengkorak-tengkorang hidup, orang yang mengaku dirinya produktif namun sebenarnya adalah mandul. Andaikan saja kejantanan mereka diuji, kata Zarathustra, orang-orang ini pasti terbukti mandul, kering. Gemerlapan yang memantul dalam diri mereka tak mampu menutupi kemandulannya. Bahkan pakaian sampai perhiasannya pun tak mampu menutupi, malah membikin takut burung-burung yang terbang lari menjauh dari mereka.
            Persoalan yang dihadapi Zarathustra dalam dua waktu yang berbeda (masa kini dan masa depan) itu mencerminkan keterkungkungan atas waktu, masa kini dan masa depan. Pada kedua masa ini si Zarathustra tak pernah menemukan arah tujuan hidupnya.
            Dalam kehidupan nyata, aku merasakan hal yang sama. Aku terkungkung pada sebuah waktu—realitas kekinian dan mimpi buruk masa depan. Ketika aku mencoba menyelami dan merasakan masa depan yang akan aku alami kelak, aku bertemu dengan waktu yang mencaci aku, bahwa aku belum pantas bersama masa depan, hingga akhirnya aku turun kembali ke masa kini. Di masa kini, aku bertemu dengan manusia-manusia kayu dengan segala atribut-nya, malah tak tampak sekali sikap kemanusiaanya. Aku bimbang, gelisah, galau.
            Saya kira, benturan diri dengan waktu yang saya hadapi membikin saya memaksa diri untuk bisa menyesuaikan dengan waktu itu, baik terpaksa maupun tidak, sakit atau tidak, gelisah maupun tidak. Secara langsung maupun tidak langsung waktu membentuk kepribadian saya melalui kerjasama lingkungan yang masuk dalam rongga-rongga indra saya. Ah.. terkadang itu membuat saya semakin gelisah dengan hidup ini.
            Satu bulan lebih aku berusaha untuk selalu memercayai waktu yang aku hadapi sekarang, dengan mengikuti alur setiap detik, menit, jam, harinya sampai pada satu bulan aku mengarungi dialektika waktuku sendiri. Aku menemukan diriku tak seindah yang aku inginkan, sifatku berubah—bisa jadi—karena waktu memaksa aku untuk berubah. Dulu aku senang bertemu dengan teman-temanku, sekarang aku malah malas sekali. Aku lebih senang dengan kesendirianku dengan buku. Di kamar, bersama Marlboro dan Kopi. Aku merasa tak siap menjadi orang yang kekinian dengan pelbagai alasan.
Kini, aku berpikir, menjadi manusia berarti siap bertarung melawan waktu. Tuntutan yang waktu persembahkan kepada diri kita akan memaksa kita untuk menjadi manusia yang apa, dimana, dan bagaimana. Dan bagiku, untuk hadir di masa kini, orang harus berani menanggung resiko, orang harus bersedia membayar kerugian, berani berkorban. Risiko, kerugian dan pengerbonan tak akan terhindarkan ketika orang melihat masa depan. Dalam masa depan, orang tidak melihat apa-apa kecuali waktu. Berada bersama waktu dengan kesendirian, itulah korban paling dahsyat dan besar. Dan aku, semakin gelisah dengan waktuku, kini dan esok...!!
*selesai diketik tanggal 04-06-2013 di kamarku.


[1]ST. Sunardi. 2012. Vodka dan Birahi Seorang Nabi.  (Yogyakarta:Jalasutra) hal. 123
[2] Seiring dengan berkembangnya doktrin yang orang tuaku haturkan padaku, dari hal yang paling urgen adalah masalah tanggung jawab moral dirumah, usiaku. Aku kira yang waktu empat tahun itu adalah waktu yang sangat berat untuk mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya, sangat berat untuk ukuran otakku yang tak begitu encer.

Kepada Malam

Indahnya dirimu, Malam.
Aku ingin memelukmu, Malam.
Menjadikanmu guling yang selalu menemani tidurku pada waktu malam.
Menjadikanmu bantal yang selalu aku basahi setiap inci kulitmu dengan air surgaku, Malam.

Malam
Aku ingin memejamkan mataku,
Untukmu saja, Malam.
Bersama bintang sebagai nyamuknya
Dan komet yang menjadi cicaknya.

Malam
Aku ingin sekali mendekati-mu,
Merayu-mu
Untuk menjadi kekasihku
Malam hari ini saja.

Malang, 05-05-2013, jam 11.33 PM.

 
Al_Mutahawwil © 2010 | Designed by Trucks, in collaboration with MW3, Broadway Tickets, and Distubed Tour