Judul : Selamatkan Islam dari Muslim Puritan
No. ISBN : 979111269X
Penulis : Khaled Abou El Fadl
Penerbit : Serambi
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi (L x P) : 150x230mm
-->
“Setelah bertahun-tahun membaca sumber-sumber keislaman …
Saya semakin yakin bahwa Islam yang tidak humanistik adalah Islam
yang keliru …
Islam adalah pesan kasih sayang, rahmat, cinta, dan keindahan.:
[Khaled Abou El
Fadl]
Modern ini, kita banyak
menyaksikan peristiwa-peristiwa yang mengejutkan, khususnya di dunia Islam.
Mengapa tidak, dari rentetan acara yang dimulai dari bom WTC 11 September 2002,
Bom Bali season I dan II, dan berkali-kali kerusuhan yang terjadi di belahan
dunia, khususnya Indonesia. Dan parahnya, semua kejadian-kejadian tersebut
mengatasnamakan Tuhan, sehingga tak wajar jika terjadi terjadi penyelewengan
terhadap Tuhan Islam yang dianggap teroris-lah, dan sebagainya.
Disinilah,
Khaled Abou El Fadl, Guru Besar Hukum Islam UCLA AS. menulis dan menerbitkan serta –kemudian- diIndonesiakan oleh Helmi Mustafa “Selamatkan Islam dari Mulism Puritan” (Serambi, 2007) dari judul aslinya The Great Theft :
Wrestling Islam from the Extrimists (2005) yang kemudian berusaha untuk memberikan
sebuah pemahaman yang secara sistematis membedah dua wajah Islam yang berbeda; “Moderat Vs Puritan”.
Dipaparkan oleh penulis bahwa di era modern ini pemikiran Islam telah
terbelah menjadi dua yaitu Moderat dan Puritan[1]. Dimana kaum moderat
selalu mencoba mencari jalan tengah seandainya terjadi perbedaan cara pandang
dengan cara dialog. Sementara kaum Puritan cenderung membuat klaim-klaim
kebenaran dalam konteks tekstual absolut. Sehingga kontekstual benar-benar
sangat dihindari. Sehingga amatlah sulit menciptakan suasana dialogis dengan
kaum Puritan.
Khaled membuat rincian akar permasalahan dan asal muasal kaum Puritan
dan Puritanisme modern. Dipaparkan ada dua kelompok yang sangat mempengaruhi
cara berpikir kelompok Puritan yaitu, kaum Wahabi dan Kaum Salafi. Kaum Wahabi
adalah pengikut ajaran seorang fanatik abad ke-18 yaitu Muhammad Bin Abd
al-Wahab (1792) yang menggagas bahwa ummat Islam telah melakukan kesalahan
dengan menyimpang dari jalan Islam yang lurus dan hanya dengan kembali ke
satu-satunya agama yang benar akan diterima dan mendapat ridha Allah serta
membebaskan diri dari semua perusakan yang menggerogoti agama Islam seperti
tasawwuf, tawassul, rasionalisme dan lain lain. Dan menutup semua pemikiran
ataupun aktifitas yang tidak ada landasan tekstual dari Qur’an dan Sunni.
Konsep isolasi, eksklusivistas dan pemisahan yang pernah dijalankan oleh
gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir merupakan reproduksi dari idiologi Wahabis
Bahkan kaum Wahabi sangat membenci kaum non-muslim dan menegaskan agar mulism
tidak berteman dengan non-muslim. Sangat naif juga otoritas penjaga tanah suci
Mekkah dan Madinah adalah kaum Wahabi yang cenderung memaksakan ortodoksi
terhadap jamaah haji seluruh dunia. Sehingga mengakibatkan benturan dengan
jamaah haji Afrikan dan Asia Tenggara. Sebagai contoh pada tahun 1926 kebencian
kaum Wahabi terhadap semua instrumen musik melahirkan kemelut antara Mesir dan
Arab, ketika prajurit Mesir yang memikul tandu seremonial membunyikan
terompet pada waktu haji diserang dan diganggu dan alat musik mereka
dihancurkan. Memang kaum Wahabi melarang semua bentuk nyanyian dan tarian
sufidi Mekah dan Madinah.
Begitu pula Salafisme, yang didirikan pada akhir abad ke-19 oleh reformis
muslim Jamauluddin Al-Afghani (1897), Muhammad Abduh (1905), Muhammad Rasyid
Ridha (1935) dan lain lain. Istilah Salafi adalah merujuk periode Nabi, para
Sahabat dan Tabi’in. Sehingga gerakan ini mengklaim berasal dari autentitas
Islam. Dengan semangat, bahwa umat Islam harus kembali mengikuti
preseden-preseden Nabi dan para Sahabat yang mendapat petunjuk (al-salaf
al-shalih) dan juga generasi awal yang saleh. Pada awalnya gerakan
ini cukup tolerans dengan berbagai perbedaan dan mazhab. Salafi tidak
membenci mistisisme atau sufi. Ilmuawan Salafi gemar melakukan talfiq,
memadukan beragam opini dari masa lalu demi memunculkan pendekatan yang baru
terhadap problem-problem yang muncul. Walaupun ada perbedaan yang cukup
menyolok antara Wahabisme dan Salafisme, di tahun 1970-an lewat proses sosial
politik yang kompleks kaum Wahabi melepaskan diri dari sejumlah bentuk yang
ekstrim dan menggunakan simbol-simbol Salafisme. Sehingga kedua-duanya praktis
menjadi sulit dibedakan.
Yang cukup kental prinsip yang mereka jalankan adalan menutup pintu
serapat-rapatnya penyelidikan sejarah secara kritis dan melarikan diri kerumah
perlindungan teks yang aman. Mereka –pula- memandang diri mereka sebagai kelompok yang
superior dan lebih unggul, pemikiran ini terus bertahan hingga kini. Mereka
menganggap bahwa masyarakat muslim dewasa ini telah kembali kepada kondisi
pra-Islam (disebut Zaman jahiliyyah).
Salah satu tokoh aktifis Ikhwanul Muslimin, Sayyid al-Qutb yang menulis buku berjudul Ma’alim fi
Thariq, yang isinya lebih sekedar upaya menciptakan konstruksi ideologi
yang sangat fasis yang merupakan frasa-frasa daptasi dari karya-karya Carl
Schmidt yang fasis Jerman.
Begitu pula pada masa kini kaum Puritan terus hidup subur dengan
konsistennya mempromosikan ideologi supremasi, mereka merasa lebih unggul dan
superior sebagai konsekuensi perasaan salah, tak berdaya, dan keterasingan disertai dengan sikap arogansi yang terkandung
persasaan selalu benar ketika berhadapan dengan yang lain. Dan selalu men-judgement Barat, kaum ateis secara umum, kaum muslim pelaku bid’ah, atau bahkan kaum
perempuan muslim.
Penulis juga mengajak seluruh komponen Muslim kembali merenungkan esensi
Islam -bukan chasing-nya
yang Islam-dengan lugas dan gamblang Khaled memaparkan
dari segi lima rukun Islam, yang merupakan wahana yang
cukup efektif mempertemukan semua kelompok dalam Islam. Dan tidak akan
ada perbincangan yanga sangat alot dengan lima rukun Islam ini.
Disamping itu penulis juga menggambar ketimpangan pemikiran kaum Wahabi dan
Salafi dalam memandang kaum perempuan –yang menurut mereka- adalah pantas dan legal jika dijadikan
seorang budak.[2]
Dan akhirnya, buku ini –hemat penulis-
baik untuk dijadikan sebuah pedoman para khalayak yang mng-gandrungi kajian-kajian pemikiran kritis, dan jika seumpama penulis
adalah MUI, maka akan memberikan label “halal untuk di konsumsi, tanpa batas
waktu tertentu”. Wallahu a’laam!!
Malang, 10 November 2012
Alfaqier
‘93
[1] Abou
El Fadl, Khaled, Selamatkan Islam dari
Muslim Puritan, (Mizan, 2005), hal.
11.
[2] Adalah pernyataan seorang ahli hukum Islam di
Saudi Arabia, yang kemudian ditanggapi oleh Dr. Khaled Abou El Fadl. Lihat Abou
El Fadl, Khaled, Selamatkan Islam dari
Muslim Puritan, (Mizan, 2005)
hal. 300-316.
0 komentar:
Posting Komentar