Tepat
pukul 12.00 WIB, malam senin, sebuah pikiran masuk dalam pikiran
hening ini, dari sekian juta pikiran yang sengaja dan tidak aku
masukkan ke dalam banker otakku, dari yang paling keduluan sampai
kekinian. Satu bulan liburan sangat membantu kedewasaan otakku dalam
berpikir tentang nilai studiku yang mulai semester satu sampai
sekarang masih tetap saja-tak naik dan tak turun-.
Pasti anda akan menanyakan kenapa saya
menulis “Filsafat Akademis;
Memaksakan Diri untuk Ragu”
sebagai judul tulisan ini. Tidak lain hanya untuk mencoba menelaah,
mengkritisi sebuah realita yang telah mapan. Tak ada tujuan untuk
menggembosi pikiran-pikiran yang telah terbentuk sejak dahulu kala
tentang dunia akademis, karena sebuah keharusan penulis untuk selalu
mengungkapkan hal-ihwal
yang menurut dia cocok untuk dipikir ulang oleh para pencinta “onani
wacana”1
untuk didiskusikan.
Seb`gai seorang mahasiswa yang memang
diajarkan untuk belajar -dari instrument-instrument masalah yang
memang wajib untuk dihadapi, dari kegiatan ekstra dan intra yang
memang sengaja digeluti untuk memperkaya wawasanku tentang dunia
ke-organisasian- . Tetapi, ada hal yang membuatku selalu
bertanya-tanya, apakah hal yang aku lakukan selama ini akan menjadi
tolak ukur diriku-sebagai calon masyarakat- kelak ketika berkecimpung
di dunia kemasyarakatan, atau malah hanya rekayasa senior untuk
–secara tidak langsung- mengkonstruk pikiran aku untuk selalu
merasa tidak puas dengan apa yang diberikan kampus kepadaku, sehingga
aku harus berusaha untuk mencari lahan baru untuk aku jadikan lahan
belajarku Sebuah masalah yang memang menimpa mahasiswa-mahasiswa lain
–yang memang memikirkannya-.
Aku
mencoba menjawab dari hasil diriku selama belajar dari taman
kanak-kanak
sampai Sekolah Menengah Atas
(SMA). Dimana
kanak-kanakku, aku sudah gemar bernyanyi, mencoba bermain musik, dan
kemudian benar-benar aku bertekad untuk belajar musik secara
sungguh-sungguh ketika duduk di sekolah menengah pertama tingkat
kedua, dari amat cinta kepada musik, kemudian aku merasa dunia
Akademis –Sekolah Formal- yang aku geluti tak pernah ada kaitannya
dengan semua hal kehidupan sampai aku beranjak menjadi mahasiswa
–sampai sekarang ini-, ditambah dengan aku bertemu dengan mata
kuliah Filsafat –dari Filsafat Yunani, filsafat Islam, Linguistik-
di STF Al-Farabi Kepanjen-Malang2.
Sehingga aku sepakat dengan argumen Brayn Magee dalam mengomentari
Dunia Akademis itu dengan sebaliknya. Menurut beliau, “Dimataku
–sampai hari ini-, dunia akademis tak ada kaitannya dengan
kehidupan pasca akademis, dan dunia akademis menurutku sangatlah
sempit, dangkal, dan terbatas, sebuah dunia tanpa warna dan tanpa
bobot, dunia yang tak ada hubungannya dengan alam nyata”3.
Dalam perspektif yang berbeda semua yang aku ketahui dalam Akademis
itu adalah keterkekangan dan kuliahku di universitas aku maknai
sebagai sebuah birru
al-waalidain (membahagiakan
orang tua) dan
dosen-dosen yang mengajariku hanyalah jenjang lanjutan di sekolah
menengah, mereka adalah orang-orang yang menjalani hidup di
lembaga-lembaga tertutup, dan mencurahkan segenap energi untuk
menggeluti bidang studi yang sama diajarkan di sekolah menengah,
matematika, geografie, .. bagiku semua bidang studi itu sangat mudah
di kerjakan bila harus dibandingkan dengan pasca kehidupan akademis,
itu aku dapatkan ketika aku
tidak sengaja bertemu dengan Kant, Riceur, Alan Watts, Schopenheur,
yang memang secara tidak langsung menjelaskan daripada abstraksi
Akademis. Ya, begitulah
aku menerjamahkan bahasa akademis dalam perspektifku.
Aku tahu ini hanyalah sebuah pikiran
subjektif diriku atas ketidakterimaanku terhadap sebuah gejala
akademis4
yang terjadi di lingkunganku. Aku sering melihat bagaimana sebuah
lembaga pendidikan malah hanya menjadi sebuah washilah
al-wujuudiah (jembatan
eksistensi)5,
dan itu bisa dilihat bagaimana orang-orang disekitar kita lebih
sering mempertanyakan “Sekolah
atau kuliah dimana kamu?, atau
“apakah sekolah kamu punya
prospek kerja apa tidak ketika kamu lulus nanti?” daripada
mempertanyakan “apa –ilmu-
yang kamu dapatkan setelah sekolah atau kuliah bertahun-tahun?”.
Jelas, realita ini adalah
sebuah gejala yang semakin merebak, bahkan menjadi sebuah mindset
yang sudah tertanam dalam
pikiran masyarakat sekarang. Dampaknya akan semakin jelas ketika
–calon- siswa atau mahasiswa lebih memilih sekolah yang berstempel
negeri daripada swasta, karena mindset
awal yang dibangun adalah
bagaimana –calon- siswa atau mahasiswa bisa memperjelas
eksistensinya (dalam istilah jawa, iki
loh, Aku, Jawa Red). Dan
sejuta dampak yang dihasilkan –yang mungkin penulis tak mampu
menuliskannya karena keterbatasan otak dan sebagainya-.
Akhir
al-kalam, tak ada lebih indah
daripada kita bisa berfikir tentang kekurangan yang ada dalam diri
kita dan berusaha untuk membenahinya menjadi lebih baik sebagaimana
pernah di ucapkan oleh Kant “Sapere
aude” (Jangan takut
berpikir)6.
Dan sekali lagi, ini hanyalah catatan subjektif penulis yang hanya
ingin menerapkan keraguan atas realitas hidup yang sedang
dijalaninya, sebagaimana pernah dikatakan oleh al-Ghazali, “keraguan
adalah jalan utama untuk menuju keyakinan”7,
inilah kenapa aku ingin
memaksakan diriku untuk meragukan segala hal, bahkan bagiku. Wallahu
al-muwaafiq ilaa aqwa al-thaariq.
*Moh. Isomuddin.
Selesai
ditulis pada tanggal 12-12-2012, jam 12.OO WIB, di tempat penginapan
milik Ahmad Nuril Hidayat.
____________________________________________
1
Istilah
yang biasa di pakai oleh aktivis PMII UIN Malang dalam sebuah
diskusi.
2
Sekolah Tinggi Filsafat Al-Farabi Kepanjen-Malang. Sebuah
Universitas yang dikomandoi langsung oleh Syeikh
al-Allamah
Ach. Dlofir Zuhry yang baru berdiri pada tahun 2010. Aku memasuki
lingkungan ini pada tahun 2011 sebagai seorang manusia yang masih
merasa kurang atas ilmu yang didapatkan dari kampus UIN Malang di
jurusan Pend. Bahasa Arab,sehingga setengah banting setir ke jurusan
Ilmu Filsafat di STF Al-Farabi.
3
Magee,
Bryan, Memoar
Seorang Filosof, Cetakan
Pertama, Bandung: Mizan Media Utama, 2005
4
Academic
Syndrome, meminjam
bahasa Foucault dalam pembahasan tentang deprofesionalisasi
filsafat. Lihat Michel Foucault (1989), Foucault
Live (Interviews,
1966-84), N.Y: Semiotext(e), hal. 28.
5
Sebuah
istilah yang lahir dari sebuah diskusi yang dilakukan oleh para
pemikir PMII yang kemudian membentuk sebuah grup small-discussion
yang
digawangi oleh : Ahmad Nuril Hidayat (Didit TRSM), Khoirul Mufid
(Mufid HBK), Muhammad Qoka (Qoka Syabeh), R. Idlon (Idlon APAM),
Choirul Lutfie (Lutfi LKP), Abdul Hamid (Memed Choli),
Moh. Isomuddin (penulis).
6
Dikutip
oleh Jo Verhaar. Lihat: Jo Verhaar (1999), Filsafat Yang
Berkesudahan, Yogyakarta: Kanisius, hal.
17.
7
Al-Ghazali,
al-Iqtishad
fii al-‘I’tiqaad, (Dar
al-Fikr), hal. 421.
Amazing..
Suka sekali dengan tulisan-tulisan ini..
Membuatku iri saja..
Saya tunggu terbitannya Ra..
Essip..