Mengkarakterkan Film Indonesia



 
               Rasanya tidak ada yang menafikan arti dan makna penting pendidikan. Hampir semua orang akan sepakat bahwa pendidikan itu memiliki manfaat besar dalam kehidupan manusia. Banyak pihak meyakini bahwa pendidikan merupakan instrument yang paling penting sekaligus paling strategis untuk mencapai tujuan individual maupun sosial. Jika seorang individu membangun mimpi-mimpi masa depan yang indah dan menjanjikan dalam kehidupannya, maka ia membutuhkan alat bantu untuk mewujudkannya. Mungkin saja ia belajar dari lingkungan, teman, membaca buku, atau dari menyimak media elektronik. Semuanya itu merupakan jalan atau “washilah” yang membuka ke arah perwujudan mimpi.
          Sejak zaman kemerdekaan sampai sekarang, harus diakui pendidikan nasional masih belum mapan secara menyeluruh. Berbagai kurikulum yang diimpor dari luar dipercobakan kecocokannya dengan pola pendidikan di Indonesia, dan yang baru-baru ini, para pemikir pendidikan di Indonesia bereksperimen atas kurikulum baru yang sebelumnya telah dilakukan oleh barat, yakni Pendidikan Karakter yang akan dijadikan kurikulum pada tahun 2013 ini.
            Walaupun demikian, masih saja banyak batu kerikil yang sering menghambat jalannya kurikulum pendidikan ini. Salah satunya adalah media elektronik (internet, televisi, dll)–yang menurut Francis Fukuyama diistilahkan sebagai “Chatedral of Modernism”—yang terkadang menjadi polusi pada setiap otak-otak kalangan muda dengan adanya program yang sering membentuk karakter hedonis, individualis, konsumeris, dan paham-paham yang tak sehat lainnya.
            Contoh bagaimana seorang anak-anak muda—baik pedesaan maupun perkotaan—yang sering melihat acara-acara televisi yang berbau adegan disana penuh dengan adegan yang tak layak ditiru, dan sering membuat para anak-anak muda meniru gaya mereka bertingkah, dari yang paling sederhana—seperti bagaimana mereka bertingkah—sampai pada gaya yang paling rumit sekali-pun. Kemudian ditambah dengan tanpa adanya pengawasan dari para orang tua anak tersebut, sehingga semakin membuat acara-acara tersebut menghipnotis para anak-anak muda sekarang.
            Jika kita berpikir kembali, media elektronik—televisi, secara tidak langsung—merupakan sebuah ladang pendidikan non-formal yang sering berhadapan dengan khalayak masyarakat di Indonesia, tetapi pada kenyataanya program-program yang ditayangkan oleh stasiun televisi lebih menjurus kepada pasar, bukan terhadap pendidikan kepada khalayak. Bisa kita lihat, bagaimana acara yang dipublikasikan lebih banyak program hiburan daripada program edukasi.
Berdasarkan penilitan, 80% masyarakat Indonesia menggunakan waktunya untuk menonton program acara pada waktu pukul 18.00 WIB sampai sebelum istirahat, dan mayoritas yang pemirsanya adalah anak-anak dibawah umur. Mungkin kita bisa membayangkan seberapa besar pengaruh acara-acara televisi tersebut terhadap minset anak-anak kita.
Pemerintah telah memutar otak untuk menghadapi gelombang tsunami yang dipublikasikan media elektronik agar tidak menjerumuskan kalangan muda saat ini. Maka dibentuklah LSF (Lembaga Sensor Film) yang bertugas men-sensor adegan-adegan yang tak pantas ditayangkan pada sebuah Film, tapi itu pun masih belum efektif membendung arus perfilm-an di Indonesia.
     Harus ada kerjasama antara masyarakat beserta seluruh kalangan yang dianggap bertanggung jawab—dalam hal ini adalah pemilik stasiun TV—untuk bagaimana caranya bisa menayangkan acara-acara yang lebih baik untuk ditayangkan—Yang  menurut Alexander Sutherland Neill—bisa membangun mentalitas climbers, membentuk kepribadian diri baik penerus bangsa, harus bermanfaat untuk kemajuan bangsa dan negara dalam segala aspeknya, dan yang paling penting adalah mencetak generasi muda yang berkarakter cinta tanah air.

Jember, 30 Maret 2013

0 komentar:

Posting Komentar

 
Al_Mutahawwil © 2010 | Designed by Trucks, in collaboration with MW3, Broadway Tickets, and Distubed Tour