Lagi-lagi, Satu Kata: Waktu



Kegagalan orang bermain-main dengan waktu membuatnya
 tidak hidup di masa kini. (St. Sunardi)[1]


            Selasa malam rabu, tanggal 03-06-2013, tepat pukul 23.16 malam, saya susah tidur ketika membayangkan perjalanan yang akan saya tempuh pagi harinya, karena memikirkan kecaman dosen tentang perilaku yang tak baik dikelas kemaren pagi (baca; senin pagi). Walaupun disisi lain aku tak begitu merisaukan kata-kata yang dilontarkan oleh si dosen, tapi aku malah teringat dengan “doktrin-doktrin” orang tua dirumah tentang keharusan lulus tepat waktu. Disanalah aku mulai pesimis dengan kuliahku.
            Lanjutnya, kata si dosen, “kamu ini bagaimana, Isom! Saya kira kamu itu sangat mampu dengan apa yang saya ampu sekarang (baca; mata kuliah), tapi kamu kog seperti meremehkan saya”, Aku terdiam, tak mau menanggapi walaupun mulut sudah berancang-ancang untuk memotong, tapi aku tambal mulutku dengan batu-bata. Aku masih berusaha untuk menerima segala kesalahanku dengan mulut terdiam, mencoba aku masukkan kedalam hati yang paling dalam.
            Satu jam aku mencoba menerima kultum dari sang dosen dengan berusaha mendengar dan melihat lekuk goyang lisan dosen, tapi tetap saja dalam hati ini aku merasa tak terima dengan seluruh kata-kata yang dilontarkan, karena beberapa alasan. Pertama, pengulangan kata-kata yang tak terlalu penting untuk dilontarkan kembali, bisa jadi, menurutku, itu adalah cerminan dari emosi yang tak terkontrol sehingga membuatnya sedikit kehilangan kecerdasannya, kedua, sistematika berbicara, seharusnya seorang dosen harus bisa mensistematikan retorika berbicara agar terlihat rapi dan diterima oleh indra si murid, tentunya, ketiga, aku sangat tidak setuju jika yang disalahkan hanya tertuju padaku sebagai pelaku kesalahan, bukankah harus ada sebuah sepehaman dari kedua belah pihak antara guru dan murid, mengapa si murid menjadi malas kuliah, dan lain-lain. Nah, kondisi ketika itu akulah orang paling bersalah ketika itu, tak ada kebenaran sepersen-pun dalam diriku, ketika itu.
            Tapi, tujuanku menulis ini bukan untuk mengkritisi argumen-argumen yang dikatakan dosen, tapi lebih kepada “waktu”. Waktu yang digunakan aku untuk melakukan kesalahan, bahkan perbuatan yang paling menjijikkan selama satu bulan terakhirku di Malang. Tahukah kalian, bahwa dalam pikiranku selama hampir tiga tahun bergelut dengan kuliah yang paling sangat aku takutkan adalah tidak lulus tepat waktu[2]. Sederhananya, Waktulah yang membuatku tak tenang. Empat tahun adalah waktu yang sangat sedikit untuk meraup ilmu sebanyak-banyaknya, dan doktrin mencari ilmu sebanyak-banyaknya dengan waktu yang sesingkat-singkat aku rasa sangat tidak cocok dengan kapasaitas otakku yang tak begitu encer (baca; kurang cerdas/biasa-biasa saja). Lagi-lagi, aku dipusingkan dengan satu kata, “waktu”. Ketika waktu malam, aku sendiri di kamar sendiri membaca buku sampai tak terasa pagi menjemput. Lagi-lagi aku dipusingkan dengan waktu. Dedline membacaku malah sering dibatasi dengan waktu yang begitu singkat, padahal—terkadang—aku masih belum terpuaskan dengan hasil membacaku semalam.
Waktu sebagai Kata Sifat
            Bicara tentang waktu, aku mencoba berlabuh pada seorang Filsuf kenamaan yang sedikit membahas waktu kedalam bukunya, sebut saja alm. Ust. Nietzsche yang menceritakan tentang Zarathustra yang hanya ditemani oleh waktu dalam kisah “Negeri Budaya” (“Of Land of Culture”). Pengalaman si Zarathustra dengan waktu datang ketika dia meninggalkan masa kini untuk berkelana ke masa depan. Zarathustra ternyata tidak tahan tinggal hanya bersama dengan waktu. A horror assailed me! Saya terperangkap dalam rasa ketakutan yang sangat! Demikianlah Zarathustra menggambarkan penderitaanya berhadapan dengan waktu. Tidak tahan berada di masa depan, Zarathustra lari pulang ke land of culture untuk menjumpai orang-orang yang merasa diri sebagai “orang-orang masa kini” (man of the present). Dia kembali untuk mengobati kekecewaannya terhadap masa depan. Harapan tinggal harapan, malah dia makin kecewa menyaksikan man of the present!.  Kini—di negeri budaya—dia tidak  bermasalah dengan waktu, tapi si Zarathustra merasa sedang menghadapi masalah dengan tengkorak-tengkorang hidup, orang yang mengaku dirinya produktif namun sebenarnya adalah mandul. Andaikan saja kejantanan mereka diuji, kata Zarathustra, orang-orang ini pasti terbukti mandul, kering. Gemerlapan yang memantul dalam diri mereka tak mampu menutupi kemandulannya. Bahkan pakaian sampai perhiasannya pun tak mampu menutupi, malah membikin takut burung-burung yang terbang lari menjauh dari mereka.
            Persoalan yang dihadapi Zarathustra dalam dua waktu yang berbeda (masa kini dan masa depan) itu mencerminkan keterkungkungan atas waktu, masa kini dan masa depan. Pada kedua masa ini si Zarathustra tak pernah menemukan arah tujuan hidupnya.
            Dalam kehidupan nyata, aku merasakan hal yang sama. Aku terkungkung pada sebuah waktu—realitas kekinian dan mimpi buruk masa depan. Ketika aku mencoba menyelami dan merasakan masa depan yang akan aku alami kelak, aku bertemu dengan waktu yang mencaci aku, bahwa aku belum pantas bersama masa depan, hingga akhirnya aku turun kembali ke masa kini. Di masa kini, aku bertemu dengan manusia-manusia kayu dengan segala atribut-nya, malah tak tampak sekali sikap kemanusiaanya. Aku bimbang, gelisah, galau.
            Saya kira, benturan diri dengan waktu yang saya hadapi membikin saya memaksa diri untuk bisa menyesuaikan dengan waktu itu, baik terpaksa maupun tidak, sakit atau tidak, gelisah maupun tidak. Secara langsung maupun tidak langsung waktu membentuk kepribadian saya melalui kerjasama lingkungan yang masuk dalam rongga-rongga indra saya. Ah.. terkadang itu membuat saya semakin gelisah dengan hidup ini.
            Satu bulan lebih aku berusaha untuk selalu memercayai waktu yang aku hadapi sekarang, dengan mengikuti alur setiap detik, menit, jam, harinya sampai pada satu bulan aku mengarungi dialektika waktuku sendiri. Aku menemukan diriku tak seindah yang aku inginkan, sifatku berubah—bisa jadi—karena waktu memaksa aku untuk berubah. Dulu aku senang bertemu dengan teman-temanku, sekarang aku malah malas sekali. Aku lebih senang dengan kesendirianku dengan buku. Di kamar, bersama Marlboro dan Kopi. Aku merasa tak siap menjadi orang yang kekinian dengan pelbagai alasan.
Kini, aku berpikir, menjadi manusia berarti siap bertarung melawan waktu. Tuntutan yang waktu persembahkan kepada diri kita akan memaksa kita untuk menjadi manusia yang apa, dimana, dan bagaimana. Dan bagiku, untuk hadir di masa kini, orang harus berani menanggung resiko, orang harus bersedia membayar kerugian, berani berkorban. Risiko, kerugian dan pengerbonan tak akan terhindarkan ketika orang melihat masa depan. Dalam masa depan, orang tidak melihat apa-apa kecuali waktu. Berada bersama waktu dengan kesendirian, itulah korban paling dahsyat dan besar. Dan aku, semakin gelisah dengan waktuku, kini dan esok...!!
*selesai diketik tanggal 04-06-2013 di kamarku.


[1]ST. Sunardi. 2012. Vodka dan Birahi Seorang Nabi.  (Yogyakarta:Jalasutra) hal. 123
[2] Seiring dengan berkembangnya doktrin yang orang tuaku haturkan padaku, dari hal yang paling urgen adalah masalah tanggung jawab moral dirumah, usiaku. Aku kira yang waktu empat tahun itu adalah waktu yang sangat berat untuk mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya, sangat berat untuk ukuran otakku yang tak begitu encer.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Al_Mutahawwil © 2010 | Designed by Trucks, in collaboration with MW3, Broadway Tickets, and Distubed Tour