Label:
Artikel Pengetahuan
Warung Kopi, Diskusi, dan Spiritualisme Baru
Di sebuah
warung kopi di Malang, pada musim “kuliah” pertengahan tahun, tiap malam kita
bisa menikmati mahasiswa berdiskusi, bermain kartu, atau hanya sekedar
menyeruput dan menikmati hitamnya kopi hitam. Ada yang didalam, pun sampai di parkiran
warung kopi itu karena mam itu kelebihan pelanggan. Sebagian dari mereka
menggunakan baju—khas—aktivis, celana jins robek dilutut, rambut sedikit agak
panjang, tapi ada pula yang berbusana akademis, lengkap dengan kewibawaan
akademisinya. Mungkin itu adalah gambaran sebuah lingkungan pinggiran kampus
tahun-tahun ini.
Gaya kehidupan ini hanya salah satu
mata acara dari berbagai rangkaian acara yang digelar di warkop-warkop (warung
kopi) di Malang atau juga dimana-mana pada masa seperti sekarang. Warung
kopi—pun—juga menjadi pusat kegiatan masyarakat (lebih khususnya para
mahasiswa) menjadi pusat kegiatan masyarakat kontemporer, dan istilah yang
sering digunakan para pemikir cultural studies yang menyebut warung kopi
sebagai ”cathedral of modernism” kini semakin terasa amat pas.
Pada era yang diistilahkan orang
sebagai era globalisasi ini, berbagai hal yang sama dijalani orang di
mana-mana. Yang terjadi di Malang tadi bisa jadi terjadi di Jember, Surabaya,
Madura, atau dimana saja.
Globalisasi
Sebagai Globalisasi
Isu besar
era ini adalah globalisasi. Para pemikir merefleksikan persoalan globalisasi—termasuk
kensekuensi-konsekuensinya—, di mana
menurut Friedman, “ancaman globalisasi saat ini adalah globalisasi”. Baginya,
sistem di dalam (globalisasi) itu sendiri menyimpan potensi penghancuran. Salah
satu pemikiran disitu, globalisasi telah menyebabkan pemberdayaan individu
secara luar biasa, yang kemudian juga melahirkan—apa yang dimaksud Friedman—“Super-Empowered
Angry Man” (Manusia Merah yang Super Terberdaya) di akhir abad ke-20.
Dalam
konteks Amerika, ancaman terbesar—hari ini—Amerika berasal dari
individu-individu semacam ini. Kalau kita melihat dalam konteks Perang Dingin
(1947-1991), Stalin-lah yang harus mengontrol negara terlebih dahulu sebelum
berhadapan dengan Amerika, kini “Super-Empowered Angry Man” bisa langsung
dimungkinkan menghajar super power ini. Gambaran ini adalah sebuah
konsekuensi logis dari globalisasi itu sendiri—ancaman globalisasi oleh
globalisasi itu sendiri.
Dalam tingkatan praktis maupun
teoritik, masalah-masalah seperti ini telah menarik perhatian banyak pemikir,
salah satunya adalah Francis Fukuyama dalam karyanya The Great Disruption (2000)
menyebut berulangnya fase seperti yang terjadi pada era pertanian ke industri
di Amerika dan Inggris setelah Revolusi Industri. Era ini adalah transisi dari
era industri ke era informasi (dalam bahasa Alvin Toffler yang terkenal,
disebut “Third Wave”).
Konsekuensi pergeseran dari
masyarakat pertanian ke industri pada norma-norma sosial berlangsung begitu
luar biasa, dan telah melahirkan disiplin akademik dimasa itu, yakni sosiologi
yang berniat menggambarkan dan memahami perubahan-perubahan itu. Kenyataannya,
evolusi tidak berhenti disitu. Kalau transformasi yang sekarang ini memiliki
momentum seperti perubahan pada zaman sebelumnya, seharusnya tidak mengejutkan
kita lagi bahwa akibat-akibat yang dibawa perubahan sekarang ini memang akan
sangat dahsyat.
Spiritualisme
Baru
Kalau masa
lalu bisa dijadikan referensi konteks hari ini, maka yang harus dipertimbangkan
adalah peranan “agama”, peranan kepercayaan. Kegamangan memasuki milenium
ketiga yang telah di-blow up media massa tahun-tahun belakangan, pada
kenyataannya juga telah memunculkan berbagai aliran-aliran kepercayaan,
sekte-sekte, dan berbagai kegiatan spritual lainya. Kegiatan itu marak di mana-mana, di Malang maupun di kota-kota
lainnya.
Gejala ini sebetulnya selalu terjadi
di tengah kegamangan zaman. Ketika utopianisme tahun 1960-an terjeblos dalam
krisis, kemudian juga lahir apa yang disebut sebagai “New Age”. Semangat
revolusioner (seperti lagu The Beatles - Revolution) bertransformasi ke
mistisme. Dalam hal ini, ahli semiotik yang pikirannya banyak mempengaruhi
pemikir-pemikir masa kini, Umberto Eco, mempertanyakan, apakah yang terjadi di
paruh kedua 1960-an itu merupakan “bab pertama dari gerakan New Age”? Di
Barat, beberapa elemen generasi 1960-an itu kini menjadi Budha atau New Age.
Entah New
Age atau apa pun namanya yang kini tengah berkembang di kota-kota besar
dengan kegiatan berupa meditasi spiritual, sebetulnya adalah gerakan yang lebih
“tidak menuntut” seperti agama, dan lebih “menyenangkan” dibanding filsafat.
Sebagai gerakan “sinkretik” yang komplit, mereka menerima kebenaran dari semua
jurusan tanpa perlu menuntut semacam garansi rasional ataupun bentuk teologi
apa pun. Semua bisa didapat dari situ, dan dalam bingkai ekonomi masa kini, hal
ini dikemas sedemikian rupa hingga juga bisa dikonsumsi di warung kopi tadi.
Dalam bahasa Fukuyama yang sangat
percaya pada terbentuknya tata sosial (social order) baru, revivalisme
“agama” seperti tadi, selain efek samping dari ketat dan kakunya agama itu
sendiri, juga dikarenakan keinginan masyarakat atau suatu komunitas, setelah
bangkrut komunitas karena sebab-sebab seperti diatas. Dengan kata lain,
masyarakat kembali ke tradisi spiritual bukan karena pencerahan atau apa,
melainkan karena absennya komunitas. Itu telah menyebabkan orang haus akan
tradisi ritual dan kultural. Seseorang membantu orang-orang yang tidak berpunya
di lingkungannya atau mereka yang terkena bencana, bukan—hanya—karena doktrin
tertentu, melainkan ingin melayani komunitas. Di situ, tengah berlangsung
proses rekonstrusi nilai-nilai.
Dari sekian banyak kronologis tadi,
sedikit banyak para pemikir juga mencari formula-formula baru untuk memainkan
perannya sebagai “Agent of Change” walaupun rekonsiliasi baru dari
tercerai-berainya masyarakat karena globalisasi kini tengah terjadi, seperti
yang selalu dilihat secara optimis oleh Fukuyama. Bahkan, Eco yang suaranya sarkastikmisme—“spesific
optimism”—terhadap beberapa praktik yang bisa membawa sedikit kemajuan.
Optimisme ini didasarkan pada adanya kepercayaan pada komunitas manusia. Dunia
masih belum akan kiamat. Kita masih punya harapan, bahkan andai itu diletakkan
di atas bakteria...
*Terinspirasi dari (Bre Redana)
Jember, 18-01-2013
.
4 komentar:
-
Ghus Fatih :
hehehe, maaf sebelumnya, Ghus. Saya tidak tahu selera pasar, dan yang lebih penting, saya menulis asal-asalan, tanpa restu otak saya, hehehe. :)
*Terima kasih atas kedatangan dan komentarnya di blog saya, Ghus.
-
gus is :
laen kali undang lagi,. hehe aq hanya bisa kasih masukan :D:D
-
Enggeh, Ghus. Terima kasih atas masukannya, semoga bisa segera menjebol kebodohan saya yang masih peraawan, hwahaha. :D
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
pancet ae gus,. gaya bahasae pyn gak merakyat. Al-Muthawwil hanya cocok dikonsumsi Magister atau Prof-Doctor :) pisss*