Segala
sesuatu yang berlawanan dengan kesederajatan harus dibongkar adalah prinsip
utama dari pemikiran mengapa teologi feminisme perlu ada. Selain ingin menggali
kembali gambaran tentang Tuhan dengan seluruh teks-teks yang telah Tuhan tulis
di bumi-Nya, berupa kitab suci, manusia, alam, dan seluruh makhluk ciptannya,
juga untuk memperjelas potret buram kemanusiaan berupa penindasan terhadap
perempuan walaupun disisi lain perwujudan dari teologi feminisme sudah ada
sebelum istilah feminisme itu terlahir.
Para sebagian teolog feminis berpendapat bahwa feminisme tak lepas dari bias gender. Ini dikarenakan budaya patriarki yang menganggap bahwa wanita hanyalah warga nomer dua telah mendarah daging sebelum agama-agama lahir[1]. Bisa jadi, itulah kenapa sampai hari ini usaha-usaha yang dilakukan oleh setiap agama untuk mencegah terjadinya sebuah penyelewengan gender masih kurang efektif.
Para sebagian teolog feminis berpendapat bahwa feminisme tak lepas dari bias gender. Ini dikarenakan budaya patriarki yang menganggap bahwa wanita hanyalah warga nomer dua telah mendarah daging sebelum agama-agama lahir[1]. Bisa jadi, itulah kenapa sampai hari ini usaha-usaha yang dilakukan oleh setiap agama untuk mencegah terjadinya sebuah penyelewengan gender masih kurang efektif.
Jika kita membaca kembali dalam perspektif agama-agama, maka kita juga tak akan luput dari menelaah kitab suci agama-agama pula, karena disanalah tempat nilai dan moral kemanusiaan yang—setiap—agama ajarkan. Walaupun dalam penerjemahan, secara tekstual dan kontekstual, setiap pribadi-pribadi manusia akan berbeda.
Kita mulai dari agama Hindu (900-700 SM), sebagai agama tertua yang masih eksis sampai hari ini, yang menawarkan konsep “sati” sebagai keutamaan istri yang mengorbankan dirinya untuk terjun kedalam panasnya api yang membakar suaminya. Konsep sati ini menggambarkan bahwa dalam ajaran Hindu, status “janda” itu tak memberikan keberuntungan terhadap seorang istri yang ditinggalkan oleh suaminya karena alasan apapun, dan merupakan sebuah perwujudan dari ketiaan seorang istri terhadap suami, tapi lambat laun tradisi ini dilarang oleh negara-negara[2]
Pola pikir ini akan semakin menghantarkan wanita pada posisi yang paling termarjinalkan, dari bagaimana dia bermasyarakat sampai pada sistem kasta yang sampai sekarang masih dianut oleh sebagian pemeluk agama Hindu.
Selanjutnya, kita
beranjak kepada agama Budha (600 SM) yang merupakan sebuah agama pembebesan
dari sistem kasta yang dianut oleh pemeluk agama Hindu, tapi masih saja
mengatur hubungan perkawinan dengan interpretasi yang timpang.
Kita bisa
membacanya dalam kitab Anguttara Nikaya IB, 265, misalnya, menyebutkan bahwa
kewajiban seorang istri dalam perkawinan agar mendapatkan gelar istri yang
sempurna adalah: bangun lebih pagi dari suami, pergi tidur setelah suami tidur,
selalu mengikuti perintah suami, selalu bersikap ramah dan sopan, dan selalu
bertutur kata-kata ramah[3]. Sementara itu tak berlaku
pada lelaki.
Selain itu,
persoalan tentang, apakah perempuan bisa menjadi bhikuni. Sebagain ulama’ Hindu
masih belum sepakat akan hal itu, meskipun Budha sendiri memperbolehkan kaum
perempuan menjadi seorang bhikuni, namun mayoritas lelaki yang masih kental
dengan budaya patriarkis-nya menganggap bahwa Sangha hanya diperuntukkan bagi
para lelaki[4].
Kemudian, kita
masuk dalam Confusionism (600-500 SM) yang diprakarsai oleh K’ung Fu Tzu
masih saja diwarnai dengan relasi ketimpangan. Misalnya, karena laki-laki dalam
masyarakat masih dianggap superior, maka perempuan ketika belum menikah harus
mematuhi ayahnya, ketika menikah harus mematuhi suaminya, dan ketika suaminya
meninggal dia harus mematuhi anak laki-lakinya. Selain itu perempuan juga tidak
diperbolehkan mengambil keputusan penting dalam kehidupan[5].
Akhirnya dampak
yang dihasilkan oleh ajaran-ajaran agama yang kasat mata menimbulkan
pengharapan terhadap orang tua agar memperoleh keturunan anak lelaki daripada
perempuan—persis seperti yang dilakukan oleh kaum Arab Pra-Islam, mereka membudayakan
membunuh (mengubur hidup-hidup) bayi perempuan mereka yang baru keluar dari
rahim ibunya karena melahirkan bayi perempuan malah akan mendatangkan bencana
yang besar dan merupakan aib keluarga tersebut—. Intinya sama, bahwa anak perempuan
tak seberharga anak laki-laki.
Setelah itu,
Agama Kristen (puncaknya pada tahun 100 M) yang menawarkan cinta kasih tapi
masih saja oknum-oknum tertentu yang masih menganut patriarkis –menggambarkan
kenapa Yesus yang tidak mempunyai pasangan hidup—, merupakan penggambaran bahwa hubungan laki-laki atas
perempuan malah akan menjauhkan cinta hamba kepada Tuhan. Tetapi anggapan
tersebut terbantahkan oleh ajaran Paulus[6] yang diberikan kepada umat
di Korentus dan Efesus, dan sering dibacakan ketika ada upacara pernikahan.
Terakhir, adalah
agama Islam (700 M) sebagai agama termuda yang—secara epistemologi manapun—merupakan
agama yang paling moderat diantara agama-agama yang lain, sangat menjunjung
tinggi harga diri seorang wanita, terbukti dalam surat al-Baqarah 1:187 yang
tertulis: “…. Mereka (perempuan) merupakan pakaianmu (laki-laki), dan kamu (laki-laki)
merupakan pakaian mereka (perempuan). Secara makna, “Pakaian”, menurut Ibn
Katsir bermakna ketenangan (sakan), sehingga istri menjadi sumber
ketenangan bagi suami, dan suami menjadi sumber ketenangan bagi istri[7].
Kenyataan masih saja ada penyelewangan—oleh oknum-oknum yang menyatakan dirinya paling benar sendiri—dalam realitasnya, salah satu contohnya adalah statemen paling menyedihkan dan paling mengganggu yang dilontarkan oleh Syeikh Shalih al-Fawzan, ahli hukum Saudi Arabia, meluncurkan sebuah fatwa (opini hukum) yang menyatakan bahwa perbudakan itu bukan hanya sah di dalam Islam, tetapi bahwa seyogianya perbudakan itu dilegalkan di Arab Saudi[8]. Statemen tadi sangat bertentangan dengan ajaran al-Qur’an—yang sebelumnya penulis telah kemukakan di paragraf sebelumnya—, wa bi al-khusus Islam yang sebenarnya yang mengajarkan cinta-kebijaksanaan dalam hidup.
Secara umum, tujuan dari teologi Feminisme adalah sama, yakni menciptakan hidup dengan penuh kedamaian, cinta kasih, keselarasan, dan kesejahteraan dengan bersama-sama menjunjung nilai dan norma terbaik antar golongan. Tetapi—terlebih dahulu—kita harus berhadapan dengan oknum-oknum yang selalu mengatasnamakan dirinya yang paling benar, yang paling “tidak pernah salah” dalam setiap jejak langkah hidupnya, sehingga akan menciptakan sebuah ketidak-tenangan dan kekeruhan dalam berhubungan di masyarakat.
Hemat penulis, berbicara tentang feminisme, emansipasi, gender, dan semua yang menjadikan wanita sebagai objek, pasti tak akan pernah kemput. Semuanya mempunyai madzhab sendiri dalam memainkan peran-nya masing-masing, dan yang paling penting adalah saling menghargai dan menghormati sebagai perilaku paling umum dalam bermanusia dengan sesama dan selain manusia.
Kenyataan masih saja ada penyelewangan—oleh oknum-oknum yang menyatakan dirinya paling benar sendiri—dalam realitasnya, salah satu contohnya adalah statemen paling menyedihkan dan paling mengganggu yang dilontarkan oleh Syeikh Shalih al-Fawzan, ahli hukum Saudi Arabia, meluncurkan sebuah fatwa (opini hukum) yang menyatakan bahwa perbudakan itu bukan hanya sah di dalam Islam, tetapi bahwa seyogianya perbudakan itu dilegalkan di Arab Saudi[8]. Statemen tadi sangat bertentangan dengan ajaran al-Qur’an—yang sebelumnya penulis telah kemukakan di paragraf sebelumnya—, wa bi al-khusus Islam yang sebenarnya yang mengajarkan cinta-kebijaksanaan dalam hidup.
Secara umum, tujuan dari teologi Feminisme adalah sama, yakni menciptakan hidup dengan penuh kedamaian, cinta kasih, keselarasan, dan kesejahteraan dengan bersama-sama menjunjung nilai dan norma terbaik antar golongan. Tetapi—terlebih dahulu—kita harus berhadapan dengan oknum-oknum yang selalu mengatasnamakan dirinya yang paling benar, yang paling “tidak pernah salah” dalam setiap jejak langkah hidupnya, sehingga akan menciptakan sebuah ketidak-tenangan dan kekeruhan dalam berhubungan di masyarakat.
Hemat penulis, berbicara tentang feminisme, emansipasi, gender, dan semua yang menjadikan wanita sebagai objek, pasti tak akan pernah kemput. Semuanya mempunyai madzhab sendiri dalam memainkan peran-nya masing-masing, dan yang paling penting adalah saling menghargai dan menghormati sebagai perilaku paling umum dalam bermanusia dengan sesama dan selain manusia.
*Selesai
diketik pada Selasa, 24/04/2013, jam 23.36, di kost pribadi. Dalam rangka memperingati "Hari Kartini".
[1]
Santini, dkk. 2005. Budhadarma dan Keseteraan Gender. Yasodhara Puteri:
Jakarta, hal. 67
[2]
Lihat website Hinduisme dalam http://www.vivaha.org.sati.htm
[3]
Pandita Sasanadhaja. 1996. Tuntunan Perkawinan dan Hidup Berkeluarga dalam
Agama Budha. Yayasan Budha Sasana: Jakarta, hal. 26.
[4]
Santini, dkk. 2005. Budhadarma dan Keseteraan Gender. Yasodhara Puteri:
Jakarta, hal. 77
[5]
Ibid, hal. 69
[6]
Ajarannya, “... Para Istri, hendaklah saudara menyerahkan diri kepada pimpinan
suami, sebagaimana saudara menyerahkan diri pada Tuhan. Sebab seorang yang
suami bertanggung jawab atas istrinya sebagaimana Kristus bertanggung jawab
kepada jamaatnya”. (Kitab Efesus 5 ayat 22-23)
[7]
Abu al-Fida’ al-Hafidz Ibn Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. Dar
al-Fikr: Beirut-Lebanon, jilid 1, hal. 245. Tentang “pakaian”, Ibnu Araby juga
berpandapat bahwa peran perempuan di hadapan lelaki adalah pelindung yang
menempati posisi seperti pakaian, yang menutupi dan menimbulkan ketentraman,
demikian juga sebaliknya. [Lihat Abu Bakar Ibn al-Araby. 2003. Ahkam al-Qur’an.
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut-Lebanon, jilid 1, hal. 128].
[8]
Dikutip dari K. Abou el-Fadl.2005. Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan. Serambi:
Jakarta, hal. 306; Lebih lanjutnya, buka: Ali Al-Ahmed, “Author of Saudi
Curriculums Advocates Slavery,” http://www.arabiannews.org/english/article.cfm?qid=132&sid=2,
4 Desember 2003.
0 komentar:
Posting Komentar