Malam tanggal 14 bulan April tahun 2013 aku menulis. Menulis sebuah tulisan dimana aku menajukkan diri dengan sebagai objek tulisanku sendiri. Bersama kesendirianku pada malam ini. Aku mengalahkan sunyi, mengalahkan detak gemericik detiknya, dan detiknya yang aku lenyapkan dari waktu.
Pada malam ini, entah apa yang aku pikirkan, aku merasa kebersamaanku dengan malam adalah sebuah keterasingan hidup. Hidup yang mengasingkan diri dari gemuruh hiruk-pikuk pikiran, bukan desa, bukan pula kota. Aku terjerembab dalam liang kebutaanku pada malam, pada teriknya lampu latar berwarna kekuning-kuningan. Sejenak aku matikan lampu itu untuk aku semakin yakin bahwa aku berada pada petang. Gelap gulita. Tak berwarna. Hanya hitam, kamut.
Pada malam ini, entah apa yang aku pikirkan, aku merasa kebersamaanku dengan malam adalah sebuah keterasingan hidup. Hidup yang mengasingkan diri dari gemuruh hiruk-pikuk pikiran, bukan desa, bukan pula kota. Aku terjerembab dalam liang kebutaanku pada malam, pada teriknya lampu latar berwarna kekuning-kuningan. Sejenak aku matikan lampu itu untuk aku semakin yakin bahwa aku berada pada petang. Gelap gulita. Tak berwarna. Hanya hitam, kamut.
Gelap ruangku, aku pergunakan untuk berpikir, bagaimana jika aku telah mati kelak. Beginikah duniaku kelak. Tanpa warna, gelap gulita. Tanpa nada, musik JS. Bach, Mozart, dan Sudais tentunya yang biasa menjadi pengantar tidurku sebelum aku beranjak ke pulau mimpi. Tanpa buku filsafat yang selalu mengajakku untuk bermain catur, bermain kelereng, bermain kuda-kuda'an bersama para filsuf malam, Al-kindi, al-Ghazali, Mawlâ ye Rum (Jalaluddin Rumi), Suhrawardi al-Maqtûl, Ibnu Bajah, Mulla Sadra, Reyne Descartes, Kant, Berkeley, Marx, dan sebagainya. Aku akan melewati mereka dalam keterasingan hidupku kelak. Ah.. merugikah aku kelak? Semoga tidak, doaku. Aku mau beruntung dimana kelak aku akan bertirakat panjang. Aku mencoba mengingat semua amalan yang, katanya, bisa membuat beruntung seorang insan kelak di dunia maupun di akhirat kelak. Aku berpikir kembali, bagaimana bisa sebuah amalan itu bisa membuat keberuntungan kepada seorang manusia yang mengamalkannya? Dan apa relasi amalan itu dengan Tuhan? Apakah Tuhan--ku-- membutuhkan pujian (amalan) untuk mempertegas ke-eksistensian-Nya? Ups.. bahasannya terlalu lebar, dan melebar. Aku hanya mempertanyakan, bukan meragukan! Apa salahnya mempertanyakan? Bukankah itu baik, untuk mencari kebenaran?
Aku berpikir kembali, bagaimana jika aku mati esok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau bahkan tahun depan? Siapkah aku? Aku meragukan kesiapanku, dan aku ragu. Ragu seragu-ragunya, melebihi keraguanku pada ke-aku-anku. Dan aku takut, takut mati, sejenak. Bukan selamanya. Bukankah mati sejenak adalah sebuah contoh dari, bagaimana kita bermain-main dalam dunia mimpi? Tapi mati yang ini adalah beda, dimana kita akan terus bermimpi, tanpa henti, tanpa batas. Bahwa tidur ini adalah penegasan kalau kita telah berada dalam dunia mimpi yang nyata, bukan metafisik lagi. Dan terus begitu.
Aku terjerambab, dan segera aku hidupkan lampu kamarku, dan aku berpikir ulang. Aku masih punya tanggung jawab terhadap diriku sendiri dan lingkunganku, aku tak boleh mati dini. Aku harus belajar, untuk diriku dan lingkunganku. Dan aku harus.. "Sekian".
Malang, 14 April 2013
0 komentar:
Posting Komentar