Lagi, malam ini, di desa Ledokombo Kec. Ledokombo saya melancong ke sebuah acara Haflah Al-Imtihan yang dihadiri oleh para Ulama'-Ulama' NU, salah satunya Rais Syuriah NU Cab. Jember (KH. Muhyidin Abdusshomad), saya melihat bagaimana beliau berusaha memberikan pengertian tentang Agama kepada para jamaah (awam) yang hadir. Dalam ceramahnya, beliau berusaha menyederhanakan ajaran-ajaran Agama dengan sesederhana mungkin--walaupun jika dikaji ulang kajian yang dibahas adalah Tafsir al-Khazin (Lubāb al-Ta'wil fi ma'āni al-Qur'an) karya Syeikh 'Alauddin 'Ali bin Muhammad al-Khazi--dengan bab yang dibahas adalah tentang hamba yang sholeh (paripurna). Sebegitu sederhananya hingga para jama'ah audience--dengan cara mengangguk-angguk tanda paham--merasa paham dengan yang dijabarkan. Intinya, pelajaran yang malam ini yang bisa dipetik adalah, "Bahwa orang yang cerdas itu bisa menyederhanakan dan mampu menyampaikan sesuatu yang serumit apapun kepada khalayak pendengar." Wallahu 'a'lamu bi al-shawāb. :-)
_______________
Jember, 27 Mei 2013
Perjalanan II (Sebelum Ramadlan)
Perjalanan I (Sebelum Ramadlan)
Ketika saya mbolang ke sebuah desa, Saya menemukan ilmu baru tentang masyarakat desa "Sbr. Gedung, Kec. Ledokombo, Kab. Jember". Tepatnya di kaki gunung Raung. Disana, mayoritas berbahasa Madura, bahasa halus, masyarakatnya lebih mementingkan etika (akhlaq) ketimbang ilmu-pengetahuan. Saya kira, masalah itu bukan hanya terjadi di desa Sbr. Gedung saja, tapi--mungkin--seluruh desa yang ada di Jawa Timur--khususnya. Bedanya SBR. Gedung dengan yang lain adalah, ketika ada seorang "pemuda" yang etika (akhlaq)-nya kurang baik (sering melanggar adat desa), biasanya si pemuda itu langsung dinikahkan. Tak pandang umur, lulusan SD-pun jadi. Ckckckck!! :-D
Katanya sesepuh desa, Menikah itu bukan hanya untuk menegaskan status kehalalan insan manusia dalam hidup bersama, tapi juga untuk pembentukan (character building) mental dan sikap yang lebih baik. Wallahu 'a'lam bi al-shawāb. :)
_______________________
Jember, 26 - O6 - 2013
Tak Ada Yang Lebih Zuhud Darimu!
Dirgahayu NKRI-ku,
68 tahun lamanya dirimu,
Berteman dengan kain kasut
Bersahabat dengan kayu kriput.
Tertanggal 17
Bulan Agustus,
Bulan antara makhluq bernama lailatul qadr dan bulan syawal pertengahan.
Menunjukkan bahwa kau tengah,
Tidak kekanan, pun tidak kekiri,
Bukankah itu bukti ke-Bhinekaanmu pada kami, NKRI-ku?
Begitu indah suara-suara burungmu,
Sampai-sampai tak ada yang tersisa darinya untuk hidup.
Begitu seksi para wanita-wanitamu, hingga bermuara di surga bernama Dolly.
Begitu santun akhlaqmu, sampai dirimu tak merasa terlecehkan oleh adek kelasmu di SD sampai SMA, dulu.
Begitu dermawan tingkahmu, hingga dirimu tak pernah merasakan nikmatnya makanan hasil buatanmu sendiri.
Wahai NKRI-ku,
Tak ada yang lebih zuhud darimu.
Dan aku pastikan itu.
Jember, 17 Agustus 2013
Di Antara
Tuhan, aku hanya hamba-Mu
Di antara senang dan duka
Di antara pahala dan dosa
Di antara putih dan hitam
Di antara siang dan malam
Di antara ada dan tiada
Di antara aku dan dia
Di antara tubuh gersang
Di antara mata yang rabun
Di antara hati yang pengap
Di antara semua.
..
Semoga Engkau masih menganggapku hamba-Mu, Tuhanku. Amin.
Orgasme 93, 16 Juni 2013
Lagi-lagi, Satu Kata: Waktu
Kepada Malam
Indahnya dirimu, Malam.
Aku ingin memelukmu, Malam.
Menjadikanmu guling yang selalu menemani tidurku pada waktu malam.
Menjadikanmu bantal yang selalu aku basahi setiap inci kulitmu dengan air surgaku, Malam.
Malam
Aku ingin memejamkan mataku,
Untukmu saja, Malam.
Bersama bintang sebagai nyamuknya
Dan komet yang menjadi cicaknya.
Malam
Aku ingin sekali mendekati-mu,
Merayu-mu
Untuk menjadi kekasihku
Malam hari ini saja.
Malang, 05-05-2013, jam 11.33 PM.
Membaca Kembali; Teologi Feminisme dalam Kajian Agama-Agama
Para sebagian teolog feminis berpendapat bahwa feminisme tak lepas dari bias gender. Ini dikarenakan budaya patriarki yang menganggap bahwa wanita hanyalah warga nomer dua telah mendarah daging sebelum agama-agama lahir[1]. Bisa jadi, itulah kenapa sampai hari ini usaha-usaha yang dilakukan oleh setiap agama untuk mencegah terjadinya sebuah penyelewengan gender masih kurang efektif.
Di Angkringan Kota
Mabuk Tuhan
Aku adalah abadi
Aku abadi dalam keabadian pagi
Aku abadi dalam keabadian siang
Aku abadi dalam keabadian malam
Tuhan..
Aku ingin menggurui-Mu tentang malam
Aku ingin menesehati-Mu tentang kekekalan
Aku ingin menjadikan Engkau budak malam gelap
Tapi apalah dayaku..
Aku adalah makhluk-Mu
Aku adalah manusia-Mu
Aku adalah tabiat-Mu
Aku adalah sifat-Mu
Aku adalah wajah-Mu
Aku adalah kelakuan-Mu
Aku adalah hakikat-Mu
Aku adalah pikiran-Mu
Aku adalah mata-Mu
Aku adalah rasa-Mu
Aku adalah mulut-Mu
Aku adalah hati-Mu
Aku adalah kekekalan-Mu
Aku adalah kefanaan-Mu
Berilah hamba waktu untuk berpisah dengan-Mu,
Untuk bermain-main dengan selain diri-Mu.
Menghamba kepada pagi
Menghamba kepada malam
Untuk menyelami kedalaman yang dalam
Untuk menyelami ketiadaan dan keberadaan-Mu
Dengan pena dan kertasku
Dengan hati dan pikiranku
Untuk bertemu dengan keberadaan-Mu.
Malang, tanggal 13 bulan April tahun 2013
Ketika "Mabuk Tuhan"
Pada Malam Ini
Pada malam ini, entah apa yang aku pikirkan, aku merasa kebersamaanku dengan malam adalah sebuah keterasingan hidup. Hidup yang mengasingkan diri dari gemuruh hiruk-pikuk pikiran, bukan desa, bukan pula kota. Aku terjerembab dalam liang kebutaanku pada malam, pada teriknya lampu latar berwarna kekuning-kuningan. Sejenak aku matikan lampu itu untuk aku semakin yakin bahwa aku berada pada petang. Gelap gulita. Tak berwarna. Hanya hitam, kamut.
Dalam Malam
Dalam malam,
Aku memalamkan tubuhmu
dalam kegelapan malam,
dan malam yang gelap.
Malam-mu, me-malamkan aku.
Dengan semalam-malamnya.
Tanpa tahu, bahwa itu adalah setengah malam.
Bukan malam penuh.
Malam ini melelahkan
Karena sampai malam ini, engkau masih saja menganggap ini "Siang".
Malang, 06 April 2013
Mengkarakterkan Film Indonesia
