Wirausaha dalam Pandangan Agama

Oleh MOH. ISOMUDDIN
Agama memberikan motifasi yang sangat kuat kepada manusia agar menumbuh-kembangkan kewirausahaan dalam hidupnya yakni memupuk semangat bekerja untuk menghasilkan sesuatu guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu, Tuhan membekali manusia kemampuan akal dan indrawi yang dapat memmbuahkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan agar meraih kehidupan yang sejahtera.

Nabi Muhammad sebagai peneladan bagi umatnya, adalah seorang karyawan dan pekerja keras yang tak kenal lelah. Di saat beliau melewatkan setengah malam dan bahkan dua pertiganya dan bershalat kepada Allah, beliau juga mengerjakan segala macam tugas pada siang harinya. Tak ada pekerjaan halal yang dianggap rendah oleh beliau. Beliau memerah susu kambingnya sendiri, menjahit bajunya dan menambal sepatunya. Beliau sendiri yang menyapu rumahnya dan membantu istrinya dalam pekerjaan rumah tangga. Beliau bekerja sebagai tukang dalam membangun masjid dan menggali parit, beliau terlihat bekerja berbaur dengan rakyatnya, beliau tak pernah menolak bekerja yang halal betapapun remehnya tanpa memperhatikan kedudukannya sebagai Nabi, sebagai panglima dan sebagai kepala negara, ini membuktikan bahwa setiap pekerjaan itu memuliakan manusia. Beliau bersabda bahwa makanan yang terbaik untuk di konsumsi ialah makanan hasil keringatnya, memberi lebih baik dari meminta, bekerja itu lebih mulya dibandingkan dengan minta sedekah;
Agama memandang antara dunia dan akhirat sebagai dua sisi kehidupan yang terkait, kehidupan dunia ladang bagi akhirat, dunia tempat menanam dan akhirat tempat mengetam, apa yang ditanam di sini akan memperoleh buahnya di sana. Tuhan memberikan kesempatan seluas-luasnya hidup di dunia untuk berusaha di segala bidang kebaikan guna menghasilkan kebaikan di akhirat, bahkan secara tegas Tuhan memperingatkan manusia bahwa meskipun kebahagiaan akhirat harus dicari tetapi jangan melupakan nasibnya dalam hidup di dunia (Q.S.Al Qosos: 77). Oleh karena itu, sangat perlu diciptakan iklim etos kerja yang tinggi dalam hidup ini, berlomba-lomba secara sehat dalam pekerjaan guna meraih prestasi adalah ditolerir dalam agama (Q.S. Al Baqarah: 148). Khalifah yang ke empat Ali bin Abi Tholib, menyampaikan suatu pernyataan yang cukup terkenal : “bekerjalah untuk meraih sukses di dunia seolah-olah akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhirat seolah-olah akan mati besok pagi.”
Pada dasarnya agama tidak mengenal istilah pekerjaan dunia dan pekerjaan akhirat secara dikotomis, ini semua tergantung ketulusan niat hati setiap individu. Semua pekerjaan yang baik akan memiliki nilai ibadah jika dilakukan dengan niat yang tulus untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan untuk memperoleh ridlo-Nya.
Semua sumber daya yang ada di bumi ini sepenuhnya disediakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia (Q.S. Al Baqarah: 29). Semakin luas ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dikuasai, maka semakin lebar kesempatan untuk meraih manfaat dari sumber daya yang tersedia itu, apa itu berupa barang atau jasa. Jadi, tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan yang diperoleh sangat bergantung pada kemampuan masing-masing individu dalam memanfaatkan peluang dan obyek yang ada. Oleh karena itu, agama memberikan dorongan maksimal dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan ketrampilan serta pemanfaatan potensi pikir secara maksimal. Nabi bersabda : “berfikir intensif selama satu jam untuk pengembangan ilmu, akan memperoleh pahala setara dengan ibadah ritual selama enampuluh tahun”, ini dimaksudkan karena dampak positif suatu ilmu jauh lebih luas dibandingkan dengan dampak ibadah ritual baik secara individual maupun kolektif.
Pengusaha dan Wirausahawan
Manusia adalah mahluk allah yang paling sempurna di antara jenis mahluk lain di muka bumi ini. Kesempurnaan manusia ini tidak terletak pada bentuk tubuhnya, tetapi yang lebih penting adalah karena manusia diperlengkapi dengan akal pikiran. Dengan akal dan pikirannya itu manusia mampu mengolah bumi dan mengembangkan dirinya sehingga seperti sekarang ini.
Dari sudut pandang ekonomi, manusia dapat dilihat dari dua aspeknya yaitu pertama sebagai unsur dalam kegiatan produksi, yang kedua sebagai yang menggunakan hasil-hasil produksi atau konsumen. Sebagai unsur produksi, manusia dengan kemampuan fisik dan mentalnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Sebagai tenaga kerja/buruh;
2. Sebagai tenaga manajemen atau tenaga pimpinan.
Umat manusia menghadapi kenyataan bahwa hampir semua barang yang diperlukan di dalam hidupnya, termasuk jasa-jasa, tidak dapat diperoleh secara cuma-Cuma, tetapi harus diperoleh dengan pengorbanan atau harus dibeli, kecuali sinar matahari dan udara.
Kenyataan ini mengharuskan orang bekerja dan berusaha, baik untuk memperoleh apa yang diperlukan itu secara langsung maupun bekerja dan berusaha untuk menghasilkan barang-barang lain. Motifasi agar setiap orang bekerja atau berusaha sekuat tenaga diberkan oleh al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW dengan perintahnya “berjalanlah ke segala penjuru bumi” dan berteberanlah di muka bumi” adalah perintah untuk bekerja dan berusaha.
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyak supaya kamu beruntung”(Q.S. al Jumu’ah: 10)
Di dalam beberapa hadist Rasulullah SAW motifasi kerja dan berusaha untuk mendapatkan rizki yang halal ditegaskan kembali. HR. Bukhari : “Barang siapa menjadi beban dari kerja tangannya sendiri, diampunilah ia (dosanya)”. Di dalam HR. Bukhari Muslim: “Apabila seseorang di antara kamu menyiapkan talinya, lalu datang membawa segulungan kayu bakar diatas punggungnya dan menjualnya, sehingga karenanya ia dapat menahan wajahnya, adalah lebih baik daripada minta-minta kepada semua orang baik mereka berikan atau tidak”.
Dari berbagai petunjuk tersebut, dapat ditarik beberapa pelajaran :
1. Agar setiap orang bekerja untuk dapat mencukupi kebutuhan hidupnya;
2. Agar tiap orang menghindarkan diri dari usaha meminta-minta;
3. Agar tiap orang secara aktif atau mengambil inisiatif untuk berusaha atau menjadi wiraswasta.
Di antara ciri-ciri wiraswasta adalah :
1. Berani mengambil inisiatif untuk memasuki bidang usaha
2. Berani mengambil resiko dan inisiatif yang diambil tersebut.
Ciri-ciri tersebut secara tersirat dapat dipahami dari ayat-ayat dan hadist tersebut di atas. Kalau dibicarakan tentang pengusaha dan wiraswasta, maka tidak berarti bahwa usaha itu harus besar. Pengusaha dan wiraswasta dapat merupakan usaha besar yang mengelola tanahnya sendiri dan meperdagangkan hasilnya, dia adalah pengusaha/wiraswata.
Di dalam usaha umumnya selalu dikenal adanya tenaga pimpinan dan tenaga buruh. Untuk seorang pengusaha atau wiraswasta, dia adalah juga seorang pemimpin. Dia yang memimpin jalannya seluruh usaha. Sukses dan gagalnya suatu usaha tergantung kepada tenaga pimpinan atau manajernya.
Adanya kerjasama buruh dan pimpinan dalam usaha ini juga ditunjukkan oleh al Qur’an dalam surat az Zukhruf (43) :32.
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmy? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka di dunia : dan Kami telah meninggikan sebagian mereka penghidupan mereka atau sebagian lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih dari apa yang mereka kumpulkan”


DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, 1983.
Islam Untuk Disiplin Ilmu Ekonomi, Departemen Agama RI, 2000.
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah. Cet.VI. Jakarta: Lentera Hati. 2006.
Maulana, M. Ali, Islamologi. cet.v. Jakarta: Darul Kutub. 1996.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Al_Mutahawwil © 2010 | Designed by Trucks, in collaboration with MW3, Broadway Tickets, and Distubed Tour